Seni
Menjadi Media Syiar Islam di Tengah Arus Modernisasi
Di
sebuah sudut kecil Desa Kalipucang Wetan, Kabupaten Batang, Jawa Tengah,
tangan-tangan terampil perempuan setempat menggerakkan “canting” dengan penuh
khusyuk. Bukan sekadar membuat motif indah di atas kain, mereka sedang merajut
nilai-nilai Islam dalam setiap goresan lilin panas. Inilah Batik Rifa'iyah,
sebuah warisan budaya yang memadukan seni tradisional dengan dakwah Islam.
Warisan
Spiritual dari Sang Guru
Kisah
Batik Rifa'iyah dimulai dari sosok KH. Ahmad Rifa'i, seorang ulama yang
mengajarkan Islam dengan pendekatan yang unik di masanya. Meskipun sang kiai
sendiri tidak pernah mengajarkan batik secara langsung karena diasingkan ke
Ambon ajarannya sampai ke Kalipucang Wetan melalui muridnya, Mbah Ilham.
"Pada
zaman dahulu masyarakat Kalipucang sudah biasa membatik, bahkan sejak zaman
kerajaan Mataram," ungkap Ibu Utin, Ketua Komunitas Batik Rifa'iyah saat
diwawancarai di kediamannya. "Namun, batiknya bukan batik Islam melainkan
batik seperti biasa, di mana banyak sekali motif-motif hewan yang digambarkan
secara utuh."
Mbah
Ilham kemudian melakukan "sterilisasi" pada motif batik tradisional.
Ia mengajarkan masyarakat untuk tidak menggambar hewan secara utuh kepala hewan
harus dipenggal atau distilisasi menjadi bentuk bunga. Prinsip ini berakar dari
ajaran Islam yang melarang penggambaran makhluk hidup secara lengkap.
Filosofi
dalam Setiap Motif
Batik
Rifa'iyah memiliki karakteristik unik yang membedakannya dari batik lainnya.
Motifnya didominasi oleh gambar bunga, pola geometris seperti kotak-kotak
titir, geblong sairis, atau tambal. Yang paling terkenal adalah motif “Pelo Ati”
yang memiliki makna mendalam.
Menurut
penjelasan Kiai Haji Alinahari dari Karanganyar, “Pelo Ati” mengajarkan bahwa
hati harus dipenuhi sifat-sifat baik seperti ikhlas, sabar, tawakal, amanah,
dan berjuang dengan sungguh-sungguh. Sifat-sifat ini disebut "pinuji"
yang harus ada dalam hati. Sebaliknya, sifat buruk seperti serakah, tamak, atau
cinta duniawi harus dibuang seperti kotoran yang keluar dari "pelo"
(tembolok hewan).
"Motif
seperti “Pelo Ati” menjadi media dakwah yang sederhana namun kuat," jelas
peneliti dalam laporan mereka. "Ketika orang dari luar komunitas Islam
melihat batik ini, mereka bisa belajar tentang nilai-nilai Islam yang penuh
kebaikan."
Yang
menarik dari komunitas Batik Rifa'iyah adalah dominasi perempuan dalam
pelestarian tradisi ini. Mereka tidak hanya berperan sebagai pengrajin, tetapi
juga sebagai pendakwah melalui karya seni mereka.
"Membatik
punya makna besar bagi perempuan di komunitas batik Rifa'iyah," ungkap
hasil penelitian. "Dari dulu, mereka diajarkan membatik sebagai
keterampilan untuk mandiri. Membatik bukan cuma soal membuat kain cantik, tapi
juga bekal hidup agar perempuan bisa punya penghasilan sendiri."
Para
perempuan pembatik ini sering melantunkan syair-syair Islam sambil bekerja.
Aktivitas ini bukan hanya tradisi, tetapi juga cara mereka berdakwah,
menyebarkan nilai-nilai Islam melalui seni. Proses membatik mengajarkan
nilai-nilai seperti kebersamaan, kerukunan, dan kesabaran praktik langsung dari
ajaran Islam.
Peluang
di Era Digital
Di
tengah perkembangan teknologi, Batik Rifa'iyah memiliki peluang besar untuk
menjangkau audiens yang lebih luas. Beberapa pengrajin telah mulai menggunakan
media sosial dan platform e-commerce untuk mempromosikan produk mereka.
"Ketika
Batik Rifa'iyah disebut sebagai 'batik Islam,' secara otomatis batik ini
membawa nama Islam," analisis peneliti. "Orang yang melihat atau
memakai batik ini jadi penasaran, 'Islam itu seperti apa?' Dari situ,
nilai-nilai keislaman bisa dikenalkan dengan cara yang lembut."
Tantangan
yang Dihadapi
Namun,
komunitas Batik Rifa'iyah tidak lepas dari berbagai tantangan. Yang paling
mendesak adalah menurunnya minat generasi muda. Menurut narasumber, kini hanya
tersisa 35 orang yang masih aktif melestarikan budaya batik Rifa'iyah.
Tantangan
lain meliputi: Keterbatasan waktu karena kesibukan ekonomi lainnya, pengaruh
modernisasi yang menggeser minat terhadap seni tradisional, kurangnya dukungan
berkelanjutan untuk pelestarian, dan kompleksitas proses produksi yang memakan
waktu 6 bulan hingga 1 tahun per kain.
Harapan
untuk Masa Depan
Batik
Rifa'iyah bukan sekadar warisan budaya, tetapi cerminan hidup yang Islami dalam
bentuk seni. Komunitas ini telah membuktikan bahwa dakwah tidak selalu harus
melalui ceramah atau pengajian formal, tetapi dapat diintegrasikan dalam
kehidupan sehari-hari melalui karya seni.
"Batik
Rifa'iyah menjadi jembatan untuk memperkenalkan Islam dengan cara yang indah
dan mudah diterima," simpul peneliti. "Di tengah arus globalisasi,
batik ini menjadi simbol Islam Nusantara yang inklusif, damai, dan
estetik."
Keberhasilan
komunitas Batik Rifa'iyah dalam mempertahankan tradisi sambil beradaptasi
dengan zaman modern menjadi inspirasi bagi komunitas seni Islam lainnya. Mereka
membuktikan bahwa seni tradisional dapat menjadi media dakwah yang efektif jika
dikelola dengan strategi yang tepat.
Dengan
35 pengrajin yang tersisa, masa depan Batik Rifa'iyah bergantung pada komitmen
bersama untuk melestarikan warisan spiritual ini. Tantangannya besar, tetapi
peluangnya pun tidak kalah menjanjikan. Semangat dakwah melalui seni harus
terus menyala di tengah tangan-tangan yang masih setia menggerakkan “canting”
dengan penuh khusyuk.
0 Comments