Di tengah
hiruk pikuk kehidupan modern dan padatnya jadwal sebagai seorang dosen di UIN
Walisongo Semarang, tersemat sosok bersahaja yang teguh menapaki jalan dakwahnya,
Abah Ahmad Anas. Lebih dari sekadar
penceramah yang fasih di mimbar,
Abah Ahmad Anas adalah
seorang da’i visioner yang mahir
menautkan pesan-pesan langit
dengan denyut kebutuhan bumi. Secara harmonis menghubungkan makna spiritual yang mendalam
dengan realitas sosial umat yang konkrit.
Dedikasi beliau dalam berdakwah
telah melampaui tiga dekade. Bagi Abah, dakwah bukanlah
sekadar melantunkan kalimat-kalimat indah tentang surga atau neraka. Ia adalah
sebuah panggilan mulia untuk menyentuh langsung
kebutuhan dasar masyarakat, mulai dari sandang, pangan,
papan, hingga akses pendidikan dan kesehatan. Keyakinannya teguh: keimanan
seseorang tak bisa dipisahkan dari kesejahteraan sosialnya.
“Selama 32
tahun berdakwah, pasti ada satu dua orang yang berubah menjadi pribadi yang
lebih bermakna. Keberhasilan dakwah bukan tentang
angka, tapi tentang
makna,” ungkap Abah Anas dengan nada lembut yang
menyejukkan.
Inilah esensi
dan ruh yang menggerakkan setiap langkah dakwah beliau: menyentuh dimensi
spiritual (samawi) sekaligus sosial (ardhi). Beliau amat yakin bahwa mengajak
umat untuk mendekat kepada Allah harus senantiasa diiringi dengan upaya-upaya
nyata untuk memberdayakan kehidupan mereka di dunia.
Spiritual dan Sosial: Dua Sayap Dakwah Kokoh
Model dakwah
ala Abah Anas berdiri kokoh di atas dua pilar utama yang saling melengkapi
yaitu, parameter samawi
dan parameter ardhi.
Parameter samawi berfungsi sebagai tolok ukur sejauh mana seseorang mengalami
peningkatan kedekatan dengan Allah, bertambahnya keimanan, dan ketakwaannya.
Sementara itu, parameter ardhi berfokus pada dampak nyata dakwah di ranah sosial:
apakah masyarakat menjadi
lebih sejahtera, berpendidikan, sehat, dan beradab?
Bagi Abah
Anas, perubahan sejati bukan hanya tentang seberapa banyak rakaat shalat malam
yang ditunaikan, melainkan juga tentang seberapa terjaminnya kebutuhan sandang,
pangan, dan papan warga; seberapa mudah akses mereka terhadap pendidikan dan
layanan kesehatan yang layak.
“Bagaimana mungkin
orang bisa khusyuk
shalat kalau perutnya
lapar? Bagaimana mereka
bisa belajar agama jika tak ada sekolah yang layak?” tutur beliau,
sebuah pertanyaan retoris yang menggugah kesadaran akan pentingnya dakwah yang
menyentuh ranah kemanusiaan.
Lebih dari Ceramah:
Dakwah Pemberdayaan
Dalam
kesehariannya, Abah Ahmad Anas jauh dari citra da’i yang hanya tampil di mimbar
masjid atau ruang kuliah. Ia adalah seorang
aktivis dakwah yang proaktif membangun jaringan dan menyebarkan pesan melalui beragam media, mulai
dari ceramah lisan, tulisan, hingga pemanfaatan media digital. Tidak jarang,
beliau terjun langsung ke lapangan, memberikan solusi konkret atas permasalahan
yang dihadapi masyarakat, memperjuangkan akses pendidikan yang lebih baik,
membantu pembangunan dan renovasi rumah ibadah, hingga mendorong
program-program kesehatan yang dapat dijangkau oleh semua kalangan.
Meneladani Sifat Rasulullah: Fondasi
Akhlak Dakwah
Keberhasilan
dakwah, menurut Abah, juga sangat ditentukan oleh kepribadian sang da’i itu
sendiri. Beliau selalu menekankan pentingnya meneladani empat sifat utama Rasulullah SAW yang tak lekang oleh zaman: shiddiq (jujur dalam
perkataan dan perbuatan), amanah (dapat dipercaya dan bertanggung jawab), tabligh
(menyampaikan risalah dengan jelas dan benar), dan fathonah (cerdas dan
bijaksana dalam berinteraksi).
“Jangan
mempersulit orang yang ingin menimba ilmu agama. Da’i harus jujur, amanah,
tidak mempersulit siapapun, cerdas menyampaikan pesan,” pesan beliau,
mengingatkan para da’i akan urgensi akhlak mulia.
Bagi Abah,
keteladanan pribadi seorang da’i adalah bentuk dakwah yang paling ampuh. Apa
gunanya ceramah panjang lebar jika perilaku sang dai bertolak belakang dengan
apa yang disampaikannya? Prinsip ini sejalan dengan keyakinan beliau bahwa
dakwah harus menunjukkan hasil yang nyata. Jika masyarakat tidak
mengalami perubahan ke arah yang lebih
baik, baik secara akhlak, sosial,
maupun kesejahteraan, maka dakwah tersebut
patut dievaluasi. Dan
evaluasi itu, menurutnya, harus mencakup empat aspek fundamental: apakah sudah
membawa kemudahan dalam memenuhi kebutuhan sandang, pangan, papan, serta akses
pendidikan dan kesehatan.
Evaluasi: Kunci Dakwah Berkualitas
Salah satu aspek menarik
dari model dakwah
Abah Ahmad Anas adalah keterlibatannya dalam proses evaluasi yang berkelanjutan. Baginya, setiap
program dakwah harus dievaluasi secara cermat, dan bukan hanya soal jumlah
hadirin atau popularitas semata. Evaluasi harus fokus pada perubahan riil yang
terjadi: Apakah masyarakat lebih memahami agama? Apakah ada peningkatan
signifikan dalam akhlak dan moralitas? Apakah ekonomi warga mengalami perbaikan
yang nyata?
Setiap hasil evaluasi tersebut
menjadi landasan krusial
dalam penyusunan program
dakwah ke depan. Dengan
demikian, dakwah bukan sekadar rutinitas yang monoton, melainkan sebuah gerakan
dinamis yang terus berkembang, beradaptasi, dan senantiasa relevan dengan
kebutuhan mendesak umat.
Akhir Kata: Dakwah yang
Menghidupkan
Dari Abah Ahmad Anas,
kita memetik pelajaran berharga bahwa dakwah
sejati adalah dakwah yang menghidupkan: ruhani terisi
dengan cahaya ilahi, dan sosial terangkat menuju kemandirian serta
kesejahteraan. Dakwah beliau bukan hanya tentang menebar
dalil-dalil suci, tetapi juga
tentang membangun mad’u (objek dakwah) yang berdaya, sehat, cerdas, dan
sejahtera secara holistik.
Semoga model
dakwah humanis seperti yang dicontohkan Abah Ahmad Anas ini menjadi inspirasi yang tak terbatas
bagi para da’i,
ulama, dan lembaga
dakwah di seluruh
penjuru negeri. Sebab, Islam
tidak hanya mengajarkan tentang janji surga dan kehidupan akhirat, tetapi juga
menuntun bagaimana cara hidup mulia, bermartabat, dan penuh manfaat di dunia
ini.
Melalui
pendekatan holistik yang memadukan spiritualitas dan kemanusiaan, dakwah dapat
memainkan peran nyata dalam membangun
peradaban Islam yang rahmatan lil ‘alamin, rahmat bagi semesta alam yang membumi,
membebaskan, dan memanusiakan manusia seutuhnya. Sebuah dakwah yang merangkul,
memberdayakan, dan membawa kemaslahatan bagi seluruh kehidupan.
*) Diadaptasi
dari hasil studi lapangan: Luzyana Artanti, Yuli Atun Khasanah, Cahya Kumala
Sari, Amaliyah, Khotijah Audi Salma , mahasiswa Komunikasi dan Penyiaran Islam
(KPI) UIN Walisongo Semarang
0 Comments