Dalam sebuah bangunan sederhana yang terletak di sudut kota,
harapan dan keyakinan baru tumbuh setiap minggunya. Di sinilah, di Rumah Muallaf
Kota Semarang, orang-orang yang memutuskan berpindah keyakinan mendapatkan
bukan hanya ilmu agama, tetapi juga pelukan hangat dari komunitas yang memahami
perjuangan mereka. Bagi sebagian orang, memeluk agama Islam adalah keputusan
spiritual yang damai. Namun bagi para mualaf, perjalanan ini kerap dibarengi
dengan kehilangan keluarga, pekerjaan, bahkan
identitas sosial. Rumah Muallaf hadir
sebagai jawaban atas luka-luka itu. “Banyak yang datang dalam kondisi bingung
dan takut,” tutur Bapak Arif,
sekretaris Rumah Muallaf. “Tugas kami bukan hanya mengajarkan
mereka cara shalat atau mengaji, tapi juga menjadi keluarga baru yang tidak
mereka miliki.”
Pembinaan yang Terstruktur
Setiap Ahad pagi,
lantunan Iqra’ dan surat pendek
terdengar di ruang
belajar Rumah Muallaf. Program Ngaji Ahad Pagi menjadi
fondasi awal bagi mereka yang bahkan belum tahu cara membaca huruf
hijaiyah. Tidak hanya
itu, para mualaf
juga diajak untuk
memahami kitab-kitab dasar
seperti Fathul Qorib, dengan pengajar yang sabar dan penuh empati.
Selain pembelajaran agama,
kegiatan tahunan seperti
wisata religi ke makam ulama
menjadi sarana spiritual sekaligus emosional. “Di sana mereka merasa
bahwa mereka bagian dari sejarah dan budaya Islam,” jelas Arif. Namun bukan hanya kegiatan terjadwal
yang penting. Dalam kesharian, Rumah Muallaf juga memberikan layanan
konsultasi, bantuan sosial,
bahkan menjadi tempat curhat saat konflik keluarga tak terelakkan. Di
balik tiap senyuman, ada air mata
yang tertahan.
Dakwah di Era Digital
dan Tantangan Nyata
Meskipun sebagian besar kegiatan dilakukan secara langsung, Rumah
Muallaf tidak menutup diri terhadap perkembangan zaman. Media sosial seperti
Facebook dan Instagram mulai digunakan untuk menjangkau generasi muda muallaf,
termasuk dengan sesi live streaming pengajian. “Sayangnya, keterbatasan teknis
masih jadi hambatan,” kata Arif,
yang juga aktif sebagai tenaga pengajar di madrasah swasta di Kota Semarang.
Keterbatasan lain tak kalah menyakitkan: dana yang pas-pasan,
pengurus yang bekerja secara sukarela,
serta tekanan sosial yang masih kuat dari lingkungan lama para mualaf. “Ada yang datang dengan
luka, ada yang terpaksa diam-diam karena keluarga menolak,” kenangnya.
Ruang Harapan
dan Solidaritas
Meskipun demikian, dukungan dari Majelis Ulama Indonesia (MUI),
Baznas, dan masyarakat sekitar menjadi pondasi penting. Bahkan, Rumah Muallaf
Kota Semarang kerap dijadikan rujukan studi banding dari daerah lain. Hal ini
menunjukkan bahwa nilai kebersamaan dan keterbukaanl menjadi kunci keberhasilan.
Dari data yang ada, hampir
setiap bulan ada muallaf baru yang bersyahadat. Sebagian besar
berasal dari latar belakang pernikahan lintas agama, namun tidak semua bertahan
aktif dalam kegiatan. “Kami tak memaksa, tapi kami selalu membuka pintu,” ujar Arif dengan senyum.
Rumah Muallaf bukan sekadar tempat untuk belajar agama. Ia adalah
rumah bagi mereka yang ditolak, tempat perlindungan bagi mereka yang ragu, dan titik awal bagi perjalanan iman yang baru. Di tempat ini, Islam bukan diajarkan dengan
kata-kata saja, tapi melalui kasih sayang, kebersamaan, dan kesabaran. Di tengah tantangan yang nyata, Rumah
Muallaf menjadi bukti nyata
bahwa dakwah bukan hanya soal ceramah tetapi juga tentang hadir, mendengar, dan
menguatkan.
*) Artikel ini disusun berdasarkan studi lapangan di Rumah Muallaf
Kota Semarang Jawa Tengah, yang
dilakukan pada Juni 025 oleh Ika Nur Khasanah, Bunga Liza Rizkiyah, Safirotun Najwa, Sulis
Indah Fitriana, mahasiswa Jurusan Komunikasi Penyiaran Islam, Fakultas
Dakwah dan Komunikasi, UIN Walisongo Semarang.
0 Comments