“Seni yang Bertasbih”: Ruang Dakwah dari Kaligrafi hingga Getuk Lindri di Ndalem Wongsorogo*)

 


Di ujung sore, saat adzan maghrib mulai menggema, deretan anak-anak kecil tampak berlari kecil memasuki sebuah bangunan unik di Brangsong, Kendal. Mereka membawa kitab kecil, dengan senyum dan semangat. Tempat itu bukan sekadar madrasah atau pondok, tapi sebuah ruang budaya bernamaNdalem Wongsorogo”. Sebuah tempat di mana agama dan seni tidak hanya bersanding, tapi menyatu dalam harmoni.

Kiai Paox Iben—begitu masyarakat mengenalnya—bukan sekadar pendakwah atau pemilik pondok. Ia adalah seniman, budayawan yang visioner. Dengan pakaian khasnya dan suara tenang, beliau menyambut siapa pun yang datang dengan hangat. Tempat yang ia bangun ini bukan hanya tempat mengaji. Ini adalah ruang seni, diskusi, bahkan puisi. Tempat di mana seni menjadi medium dakwah dan komunikasi Islam menemukan bentuknya yang paling halus.

Dalam Islam, komunikasi bukan sekadar bicara. Ia adalah amanah. Ia adalah tabligh. Dalam QS. Al-Ahzab ayat 70, umat Islam diingatkan untuk berkata dengan “qawlan sadida”—perkataan yang benar, jujur, dan mengarah pada kebaikan. Dan seni, seperti yang dipraktikkan di Ndalem Wongsorogo, adalah bentuk paling estetis dari “qawlan sadida”. “Seni dalam Islam itu seperti do’a dalam bentuk visual,” kata Kiai Paox suatu malam dalam diskusi terbuka. “Kaligrafi, puisi, bahkan musik bisa jadi dakwah, asal disampaikan dengan adab dan keikhlasan.” Tradisi Islam memang memiliki ciri khas dalam seni: menghindari representasi makhluk hidup, menonjolkan pola geometris, dan kaligrafi yang indah. Ini bukan semata estetika—ini adalah wujud dari tauhid yang diterjemahkan dalam garis, huruf, dan irama.

Di salah satu ruangan Ndalem Wongsorogo, dindingnya dipenuhi puisi-puisi karya santri dan tamu. Ada ruang khusus untuk kaligrafi. Ada pula sudut musik dan tari, yang semuanya disusun tanpa melanggar batas-batas etika Islam. “Getuk Lindri”—begitu mereka menamai kegiatan kreatif malam hari. Bukan nama makanan, tapi simbol bahwa karya seni juga bisa membumi, dekat dengan rakyat, dan tetap mengandung hikmah.

Di era media sosial, seni Islam telah berkembang menjadi dakwah yang sangat efektif. Di Ndalem Wongsorogo, santri belajar membuat puisi religi, musik nasyid, hingga ilustrasi dakwah digital. Ini menjadi jembatan antara nilai ilahi dan dunia digital yang cepat dan visual. Bukan hanya untuk santri, masyarakat umum pun bisa datang untuk berdiskusi, belajar, bahkan sekadar menyimak. Dari kelas bahasa Inggris, hingga kelas menulis kreatif. Semua terbuka, gratis, dan humanis. Dengan sekitar 10 santri menetap dan 50 santri pulang-pergi, pondok ini hidup setiap hari. Selepas Maghrib, anak-anak kecil mengaji dengan suara yang membuat hati tentram. Santri dewasa belajar kitab dan seni secara bergiliran. Di sinilah, nilai komunikasi dalam Islam dipraktikkan secara nyata: penuh kejujuran, kebijaksanaan, dan cinta.

Seni dalam Islam bukan sekadar hiasan. Ia adalah medium dakwah. Ia menumbuhkan kesadaran. Ia mengingatkan manusia tentang keindahan Tuhan—tanpa harus menggurui. Karya seni seperti kaligrafi atau puisi bukan hanya menghibur, tapi juga menyentuh sisi terdalam jiwa manusia. Di sinilah seni Islam berbeda. Ia bukan untuk pamer, tapi untuk tafakkur. Di era modern, saat manusia makin jenuh dengan ceramah yang kaku dan formal, seni Islam hadir sebagai oase—sebagai komunikasi yang menyejukkan. Ndalem Wongsorogo bukan hanya bangunan. Ia adalah simbol bahwa seni, agama, dan masyarakat bisa saling merangkul. Bahwa komunikasi Islam tidak harus selalu lewat mimbar, tapi bisa juga lewat getaran nada, garis kaligrafi, atau bait puisi. Dan dari sana, kita belajar bahwa dakwah bisa tampil dalam bentuk yang halus, hangat, dan tetap mengena.

*) Artikel ini ditulis berdasarkan studi lapangan tahun 2025 oleh Eni Fatmawati, Moh Hafidz Ulil Albab,Nala Zulviyah,Ummi Zakiyya Fahira,Sultonudin,RizaHadi Maulama, mahasiswa KPI UIN Walisongo Semarang


0 Comments