K.H. ASYROFI AZIZ*)
Saudaraku, setiap
orang tentu ingin terlihat sejahtera, tampil percaya diri, dan dihormati oleh
orang lain. Namun seringkali, demi menjaga gengsi dan pencitraan, manusia rela
menanggung beban berat berupa hutang, bahkan hutang dengan riba. Padahal, hidup
sederhana dengan qanaah jauh lebih mulia dan menenangkan hati daripada
berpura-pura kaya dengan belitan hutang yang menyiksa.
Saudaraku,
pernahkah kita membayangkan ada orang yang bergaya sambil makan bangkai hanya
demi sebuah foto untuk dipamerkan? Tentu aneh dan menjijikkan. Namun sejatinya,
ketika seseorang berhutang hanya untuk bergaya, hakikatnya ia sedang melakukan
hal serupa: menelan sesuatu yang haram, menggadaikan ketenangan demi gengsi
semu.
Allah ﷻ dengan tegas mengingatkan:
﴿يَا
أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تَأْكُلُوا الرِّبَا أَضْعَافًا مُّضَاعَفَةً
وَاتَّقُوا اللَّهَ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ﴾
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu
memakan riba dengan berlipat ganda, dan bertakwalah kepada Allah supaya kamu
beruntung.” (QS. Ali Imran: 130)
Ayat ini tidak
hanya melarang riba, tapi juga memberi peringatan bahwa keberuntungan hidup
bukan terletak pada banyaknya harta atau penampilan mewah, melainkan pada
ketaatan dan ketakwaan kepada Allah Swt.
Rasulullah ﷺ pun bersabda dengan peringatan keras:
«لَعَنَ اللَّهُ آكِلَ الرِّبَا وَمُوكِلَهُ
وَكَاتِبَهُ وَشَاهِدَيْهِ» وَقَالَ: «هُمْ سَوَاءٌ»
“Allah melaknat orang yang memakan riba, yang
memberi riba, penulisnya, dan kedua saksinya.” Beliau bersabda: “Mereka semua
sama.” (HR. Muslim no. 1598)
Betapa mengerikan
hukuman bagi orang yang terlibat dengan riba. Namun di zaman sekarang, banyak
orang justru menjadikannya sebagai gaya hidup. Membeli mobil mewah, rumah
megah, bahkan gawai terbaru dengan cicilan berbasis riba, lalu bangga
memamerkannya di depan orang lain. Padahal, apa yang mereka lakukan tidak
menambah kemuliaan, justru menambah beban hidup dan mengundang murka Allah.
Hidup itu
sederhana. Rasulullah ﷺ sendiri
adalah teladan terbaik. Padahal beliau memiliki kedudukan mulia, dihormati
sahabat, bahkan seluruh umat, namun beliau memilih hidup sederhana, tidak
pernah bergaya mewah. Tempat tidur beliau hanya berupa pelepah kurma, pakaian
beliau sederhana, makanan beliau apa adanya. Beliau lebih mengutamakan kekayaan
hati daripada kemewahan dunia.
Beliau ﷺ bersabda:
«لَيْسَ الغِنَى عَنْ كَثْرَةِ العَرَضِ
وَلَكِنَّ الغِنَى غِنَى النَّفْسِ»
“Kaya itu bukanlah dengan banyaknya harta
benda, tetapi kaya adalah kaya hati.” (HR. Bukhari no. 6446, Muslim no. 1051)
Saudaraku, jangan
tertipu oleh gaya hidup glamor yang ditampilkan sebagian orang di sekitar kita,
atau yang dipertontonkan di media sosial. Apa gunanya terlihat kaya di mata
manusia, sementara di hadapan Allah kita tercatat sebagai orang fakir karena
terjerat hutang riba? Ingatlah, hutang itu hanya dibolehkan ketika darurat,
sekadar memenuhi kebutuhan pokok yang tidak bisa ditunda, bukan untuk memenuhi
gengsi atau mengikuti tren.
Hidup qanaah lebih
tenang. Tidak perlu risau tentang cicilan, tidak dihantui oleh tagihan, dan
tidak tersiksa oleh rasa malu bila tidak sanggup membayar. Qanaah adalah
menerima dengan lapang dada rezeki yang Allah berikan, lalu berusaha
sebaik-baiknya dengan bekerja, menabung, serta menjauhi pemborosan.
Allah ﷻ berfirman:
﴿وَلَا
تُبَذِّرۡ تَبۡذِيرًا ٢٦ إِنَّ ٱلۡمُبَذِّرِينَ كَانُوٓاْ إِخۡوَٰنَ ٱلشَّيَـٰطِينِۖ
وَكَانَ ٱلشَّيۡطَـٰنُ لِرَبِّهِۦ كَفُورً۬ا ٢٧﴾
“Dan janganlah kamu menghambur-hamburkan
(hartamu) secara boros. Sesungguhnya orang-orang yang pemboros itu adalah
saudara setan, dan setan itu sangat ingkar kepada Tuhannya.” (QS. Al-Isra’:
26-27)
Sungguh, berhutang
demi gaya hanya menjerumuskan pada pemborosan dan kebinasaan.
Lihatlah sekeliling
kita, berapa banyak rumah tangga yang retak karena lilitan hutang, berapa
banyak orang yang stress karena tidak mampu membayar cicilan, berapa banyak
yang terjerat masalah hukum karena gagal melunasi pinjaman berbunga. Semua itu
berawal dari satu hal: tidak mampu menahan diri dari gaya hidup berlebihan.
Solusi bagi kita
adalah menahan diri dari berfoya-foya, memilih teman yang sederhana, dan
menjauhi pergaulan yang mendorong kita untuk hidup mewah. Karena pergaulan
sangat memengaruhi gaya hidup. Jika kita sering bergaul dengan orang yang
mengukur kehormatan dari barang mewah dan citra duniawi, maka cepat atau lambat
kita pun terjerumus dalam jebakan yang sama.
Rasulullah ﷺ mengingatkan:
«الْمَرْءُ عَلَى دِينِ خَلِيلِهِ فَلْيَنْظُرْ
أَحَدُكُمْ مَنْ يُخَالِلُ»
“Seseorang itu berada di atas agama temannya. Maka hendaklah salah
seorang dari kalian melihat dengan siapa ia berteman.” (HR. Abu Dawud no. 4833,
Tirmidzi no. 2378)
Karena itu,
pilihlah sahabat yang menuntun kita pada kesederhanaan, bukan yang menyeret
kita pada riba dan kesia-siaan.
Saudaraku, marilah
kita renungkan. Dunia ini fana, sementara akhirat kekal. Apa gunanya memaksakan
diri bergaya dengan hutang, jika akhirnya kita hanya menuai penyesalan di
hadapan Allah? Lebih baik kita hidup sederhana, bekerja giat, menabung, dan
merasa cukup dengan rezeki yang Allah berikan.
Semoga Allah
melindungi kita dari jeratan hutang yang memberatkan, menjauhkan kita dari dosa
riba, dan menanamkan dalam hati sifat qanaah serta rasa syukur. Semoga kita
tergolong hamba yang lebih mencintai ketenangan iman daripada gemerlap dunia.
Aamiin yaa mujiibas saa-iliin.
*) Pengurus PC LDNU (Pengurus Cabang Lembaga
Dakwah Nahdlatul Ulama) Kota Semarang
0 Comments