Menjaga Hati dari Silau Dunia

 

Menjaga Hati dari Silau Dunia


KH.ASYROFI AZIZ *)





 



Hidup di era serba visual membuat manusia mudah terjebak dalam ilusi gemerlap. Media sosial, tontonan, dan gaya hidup selebritas sering kali menanamkan angan-angan palsu tentang kebahagiaan. Kita melihat orang lain hidup mewah, lalu hati mulai bertanya, “Mengapa bukan aku?” Dari sanalah benih keras hati dan gelisah itu tumbuh, perlahan namun pasti menggerogoti syukur dan ketenangan jiwa.

 

Dalam Islam, hati adalah pusat kehidupan spiritual manusia. Jika ia rusak, rusaklah seluruh amal. Rasulullah bersabda:

 

أَلَا وَإِنَّ فِي الْجَسَدِ مُضْغَةً إِذَا صَلَحَتْ صَلَحَ الْجَسَدُ كُلُّهُ وَإِذَا فَسَدَتْ فَسَدَ الْجَسَدُ كُلُّهُ أَلَا وَهِيَ الْقَلْبُ

 

Ketahuilah, sesungguhnya di dalam tubuh ada segumpal daging. Jika ia baik, maka baiklah seluruh tubuh. Jika ia rusak, maka rusaklah seluruh tubuh. Ketahuilah, segumpal daging itu adalah hati.” (HR. Bukhari dan Muslim)

 

Ketika seseorang terlalu sering menikmati tontonan yang memamerkan kemewahan, kesenangan dunia, dan gaya hidup berlebihan, hatinya menjadi keras. Ia sulit tersentuh oleh nasihat, sulit menangis dalam doa, dan merasa bahwa kesuksesan hanya diukur dengan harta. Padahal, Allah telah memperingatkan dalam firman-Nya:

 

 فَوَيْلٌ لِّلْقَاسِيَةِ قُلُوبُهُم مِّن ذِكْرِ اللَّهِ ۚ أُولَٰئِكَ فِي ضَلَالٍ مُّبِينٍ

 

Maka celakalah orang-orang yang hatinya keras dari mengingat Allah. Mereka itu dalam kesesatan yang nyata.” (QS. Az-Zumar: 22)

 

Betapa banyak di antara kita yang lupa bahwa dunia hanyalah ladang ujian. Karena ingin tampak bernilai di mata manusia, seseorang rela menggadaikan nilai dirinya di hadapan Allah. Ia bekerja mati-matian bukan untuk keberkahan, tetapi untuk gengsi. Ia berutang demi gaya hidup, bukan demi kebutuhan. Ia iri terhadap kebahagiaan orang lain tanpa tahu bahwa bisa jadi di balik senyum mereka tersimpan duka yang dalam.

 

Sikap ini berbahaya. Ia melahirkan keluh kesah dan kehilangan rasa syukur. Padahal, rasa syukur adalah pintu rezeki yang paling luas. Allah berfirman:

 

 لَئِن شَكَرْتُمْ لَأَزِيدَنَّكُمْ

 

Sesungguhnya jika kamu bersyukur, niscaya Aku akan menambah (nikmat) kepadamu.” (QS. Ibrahim: 7)

 

Rasulullah mengajarkan cara sederhana namun mendalam agar kita tidak kehilangan rasa syukur. Beliau bersabda:

 

 انظروا إلى من هو أسفل منكم ولا تنظروا إلى من هو فوقكم ، فهو أجدر أن لا تزدروا نعمة الله عليكم

 

Pandanglah orang yang berada di bawahmu (dalam urusan dunia), dan janganlah engkau pandang orang yang berada di atasmu. Dengan demikian engkau tidak akan meremehkan nikmat Allah atasmu.” (HR. Bukhari dan Muslim)

 

Hadis ini bukan sekadar ajakan untuk rendah hati, tetapi juga terapi bagi hati yang sakit oleh perbandingan. Sebab, ketika seseorang hanya memandang ke atas, ia akan terus merasa kekurangan. Namun ketika ia menunduk dan melihat betapa banyak orang yang lebih susah, lebih sempit, dan lebih menderita, maka hatinya akan penuh syukur. Ia akan berkata, “Alhamdulillah, ternyata Allah masih begitu baik kepadaku.”

 

Melihat ke bawah dalam hal dunia bukan berarti menolak kemajuan. Seorang muslim tetap boleh bekerja keras dan berusaha memperbaiki kehidupannya. Namun yang harus dijaga adalah niat dan keseimbangan. Bekerjalah untuk dunia seolah kamu hidup selamanya, tetapi beramallah untuk akhirat seolah kamu mati besok. Dunia hanyalah kendaraan menuju keabadian, bukan tujuan akhir perjalanan.

 

Karena itu, berhati-hatilah terhadap tontonan dan kebiasaan yang membuat hati keras dan jauh dari Allah. Jangan biarkan mata yang diberi untuk melihat tanda-tanda kebesaran-Nya justru sibuk menatap ilusi yang memudarkan iman. Setiap kali kita mulai iri atau kagum pada kehidupan glamor orang lain, ingatlah sabda Nabi :

 

تَعِسَ عَبْدُ الدِّينَارِ وَعَبْدُ الدِّرْهَمِ

 

Celakalah hamba dinar dan dirham.” (HR. Bukhari)

 

 

 

Celaka bukan berarti miskin, tetapi hati yang terikat oleh cinta dunia. Orang seperti ini tidak akan pernah puas, karena hatinya telah menjadi budak dari apa yang ia miliki.

 

Sebaliknya, orang yang qana’ah yang ridha dengan apa yang Allah berikan adalah orang yang paling kaya. Rasulullah bersabda:

 

لَيْسَ الْغِنَى عَنْ كَثْرَةِ الْعَرَضِ، وَلَكِنَّ الْغِنَى غِنَى النَّفْسِ

 

Bukanlah kekayaan itu karena banyaknya harta, tetapi kekayaan yang sebenarnya adalah kaya hati.” (HR. Bukhari dan Muslim)

 

Kaya hati berarti puas dengan takdir Allah, tidak iri, tidak tamak, dan tidak mengeluh. Ia sadar bahwa rezeki setiap orang telah diatur dengan adil. Dalam ketenangan dan rasa cukup itulah letak keberkahan hidup.

 

Maka, berhentilah mengukur kebahagiaan dari kemewahan. Jangan biarkan pandangan terhadap dunia membuat kita lupa kepada akhirat. Dunia ini hanya sementara, sedangkan akhirat adalah tempat pulang yang kekal.

 

Semoga Allah menjadikan kita termasuk hamba-hamba yang bersyukur, qana’ah, tidak mudah iri, dan selalu mengingat-Nya dalam setiap keadaan. Karena hati yang bersyukur adalah hati yang hidup, sementara hati yang lalai adalah hati yang perlahan mati.

 

اللَّهُمَّ اجْعَلْنَا مِنَ الشَّاكِرِينَ الْقَانِعِينَ، وَلَا تَجْعَلْ قُلُوبَنَا تَمِيلُ إِلَى الدُّنْيَا وَزِينَتِهَا، وَاجْعَلْ آخِرَتَنَا خَيْرًا مِنْ دُنْيَانَا

 

Ya Allah, jadikanlah kami termasuk orang-orang yang bersyukur dan qana’ah. Jangan jadikan hati kami condong kepada dunia dan perhiasannya, dan jadikanlah akhirat kami lebih baik daripada dunia kami.”

 

Aamiin.

*)Pengurus PC LDNU (Pengurus Cabang Lembaga Dakwah Nahdlatul Ulama) Kota Semarang



0 Comments